Ini dialami oleh sebagian masyarakat asal Indonesia timur (terutama kami
yang berasal dari Maluku Utara). Dikarenakan kosakatanya yang kadang mirip sama
bahasa Indonesia (tapi gak nyadar bahwa kosakata tersebut janggal atau aneh), kami
kadang terjebak dengan situasi can’t translated correctly or don’t know
about Indonesian terms.
Berikut ini adalah beberapa kejadiannya (ada yang real, ada yang fiction):
a. sukun tak tahu, tapi amo kami tahu
Ada dua kejadian yang
dialami oleh dua [kelompok] orang berbeda pada waktu yang berbeda.
1. kejadian waktu SMP (kami yang mengalami sendiri cerita itu)
This was a real experience
at SMP, di mana kami sedang belajar Biologi. Ketika itu ada seorang guru asal
Jawa sedang mengajari kami Biologi tentang tumbuhan. Kami sedang serius
belajar, dan ini saatnya di mana kelucuan mulai muncul. Ketika guru menyebutkan
sukun, satu kelas tidak ada yang tahu apa itu sukun. Ada yang mengira sukun itu
seperti tanda sukun dalam tulisan Arab, tapi itu sangat tidak masuk akal. Satu
kelas pun terdiam. Ketika guru menyebutkan amo, sekelas langsung tertawa
malu, seakan tak percaya bahwa sukun yang dimaksud di situ adalah amo. E ampong e, malu bahaya. (Malu banget kami.) :D
2. melalui cerita teman lewat SMS (SMS-nya pake bahasa kami, aku ngasih yang
terjemahan bebas aja ya’)
Suatu hari, ada seorang
teman bernama Ayu sedang liburan ke Jogja untuk menemui seorang temannya asal
Tabahawa, Ternate. Dia lebaran selama dua minggu di sana. Dia berencana membeli
amo bersama temannya tersebut. Mereka pun membeli amo pada
seorang penjual. Di situlah kebingungan mereka terjadi.
teman Ayu: Ayu, kita
mu bali amo goreng me kita lupa dia pe bahasa Indonesia kong. (Ayu, aku mau
beli amo tapi aku lupa bahasa Indonesianya.)
Ayu: Ya ala cocok, kita me lupa. (Sama, aku juga lupa.)
penjual: Ce amo tiga
dua ribu saja. Ngoni dua kulia di Jawa kong tara tau amo pe bahasa Indonesia
tu, labae pulang di Tarnate sana. (Amo itu dua ribu dapet tiga.
Masa’ kalian kuliah di Jawa tapi nggak tau bahasa Indonesianya amo?
Mending pulang ke Ternate aja sono.)
Betapa terkejutnya
mereka ketika mendengar ucapan si penjual yang ternyata juga berasal dari
Ternate. Mereka pun benar-benar malu, dan tak bisa menahan tawa sampai pulang
ke rumah mereka. Mereka tidak mengira bahwa yang menjual amo juga
berasal dari Ternate. Kalo tong tau dorang orang Tarnate to, tong tara akang
malu kaya tadi da. (Jika saja aku tau kalau beliau orang Ternate, kita
bakal nggak malu kayak tadi.)
Ini mah mendramatisir, toh yang ngalamin ‘kan dia, bukan aku. :p
Ternyata maksud mereka
adalah sukun, tetapi karena yang menjualnya sedaerah juga dengan mereka
(yang juga tahu kalau itu adalah amo alias sukun), akhirnya
mereka malu sendiri atas kejadian itu.
b. ditono dan menono
Ceritanya ada seorang
mahasiswa asal Ternate ngajak temennya yang Bandung asli ke kosannya untuk
ngajakin temennya makan.
(T = orang Ternate, B =
orang Bandung)
T: Lo tau sagu gak?
B: Gak tau bro, apaan
itu?
Dia langsung nyuruh
adiknya ngambil sagu.
T: Ade ambe sagu tu
kamari deng biking teh panas dua. (Adikku, ambilin dong tuh sagu ama buatin
dua cangkir teh panas ya’.)
T: Lo liat ya’ (sambil
memegang sepotong sagu), ini namanya sagu bro. Ini kalo ditono begini
rasanya enak.
B: Tono tuh apaan bro?
T: (sambil ngotot dan
memperagakannya) Iya, ini menono.
Ditono dan menono di
sini bukan kosakata asli Indonesia ya’, tapi kosakata yang terkesan dipaksakan.
Ditono dan menono itu berasal dari di- dan tono
serta me- dan tono (rendam atau celup; dalam konteks ini berarti
celup), sementara bahasa Indonesianya ya dicelup dan mencelup lah.
:D
Ada cerita lain nih (ngarang aja ya’, cuma cerita ngawur aja).
A: Lo tinggal tono aja ke gelas. :p
B: Ngana kira pakeang
kong tono?! (Emangnya kau kira pakaian apa pake ngrendam segala?) -_-
Ini cuma adegan nglebay-lebayan (alias ngawur) aja, don’t be serious
ya’.
c. dari belakang
Ini lagi-lagi aku yang
ngalamin, waktu beli makanan ke suatu warung (sengaja gak disebutin namanya ya’
:p). Waktu itu aku beli makanan di warung, trus aku gak bawa uang. Ketika itu
aku bermaksud ngutang. Dan saat mau ngutang inilah, aku dengan polosnya [dan
sialnya pula’] bilang “Pak, saya mau bayar dari belakang ya. Saya lagi
gak punya uang.” Bapaknya langsung bilang “Gak boleh bayar dari belakang dek,
bayarnya dari depan.” Denger bapaknya bilang gitu langsung kubilang lagi.
“Maksud saya, saya mau bayarnya belakangan.” Bapaknya bilang “Nah gitu dong,
bayarnya belakangan ya, bukan dari belakang. Gak sopan namanya.”
Ketika keluar, aku
bener-bener ngrasa sial [dan malu banget]. Aku gak sadar, bahwa yang aku bilang
tadi itu pengaruh dari bahasa asal daerahku (bahasa pasaran sih tapi), yaitu
frase dari balakang yang dengan polosnya kuartiin dari belakang,
tetapi yang kumaksud di sini adalah belakangan [yang emang dibilangin
bapaknya tadi itu]. Akhirnya, aku buat kesimpulan yang super duper aneh [plus
lebay]. Biar tong su lama di sini lagi, tapi tong pe bahasa yang dari sana
me jaga kaluar. Bagini ni yang biking kita malu tarus. Soe bahaya. (Meski
aku udah lama di sini, tetep aja kosakata bahasa sana masih aja keluar. Ini nih
yang buat aku terus-terusan malu dibuatnya. Sial banget aku!) -_-
d. ada gora juga loh
Ini adalah kejadian yang
dialami temenku asal Ternate, dia menceritakannya lewat facebook.
Ceritanya, temenku ditanyai temennya yang berasal dari Jawa buah apa aja yang
ada di Ternate. Dia menyebut semua buah yang ada di Ternate, (mangga, apel,
pisang, jeruk) dan tentunya gora. Temennya nanya apa itu gora.
Ternyata dia nggak tau bahasa Indonesianya gora, trus googling kata gora
sampai berjam-jam. Setelah dia baru tau kalau bahasa Indonesianya gora
adalah jambu air, barulah dia menceritakan semuanya kepada temen-temannya
yang juga berasal dari Ternate. Ketika dia menceritakan semuanya itulah, dia
diketawai habis-habisan. Sampai ada temennya yang ngomong “Ce ngana ini ni
biking malu torang saja. Gora pe bahasa Indonesia saja me tara tau tu.”
(Buat kita malu saja kamu tuh, masa’ bahasa Indonesia dari gora aja kau
nggak tau?”) Haha, emang parah banget dia. :D
e. tas plastik
Suatu hari ada seseorang
(sebut saja Asis) akan membeli sebuah bungkusan kepada penjual yang digunakan
untuk membungkus makanan yang akan dibawa ke kampusnya. Dia baru dua bulan di
tanah Jakarta, jadinya logat Jakarta nggak lancar dianya. Trus, dia tau maksud
beli apaan, tapi gak tau namanya apa dalam logat Jakarta, taunya cuma yang
logat Ternate doang, asal daerah dia. Pas dia beli nih, dia bilang sama
penjual, “Bang, ada tas plastik gak?” Abangnya bingung, dan bilang “Tas
plastik? Apaan tuh?” Asis pun bilang lagi “Iya, emang tas plastik.” Abangnya
bilang lagi “Emang lo mau beli tas yang dari plastik ya? Kalo lo mau beli tas
beli aja noh ke PGC sono!” Asis pun rada bingung, dan akhirnya bilang “Itu yang
warna merah tuh, yang ada di dalam laci tuh.” Penjualnya langsung bilang “Oh kantong
kresek, bilang dari tadi dong.” Dan, Asis pun malu seketika sambil
melanjutkan perjalanan (emang mau jalan ke mana sih) eh percakapan dan membeli
sekaligus mendapatkan sebuah kantong kresek alias tas plastik. Oh betapa
malunya si Asis tuh. :D
f. rumput
Nih ada kisah nyata di
Halsel nih. Saat itu pelajaran bahasa Inggris untuk anak-anak SD kelas lima. Si
guru tuh mau ngujiin anak-anak didiknya beberapa kosakata bahasa Inggris yang sudah
diajarin pas pertemuan lalu tuh. Metodenya bukan tertulis, tapi pake perintah
langsung. Misal jika dia sebut stone (artinya dia nyuruh mereka ngambil stone),
anak-anak langsung ngambil batu yang di luar sana.
Nah, ketika gurunya
nyebut grass, anak-anak langsung semangat keluar kelas untuk ngambil apa
yang disebut dengan grass. Ketika mereka tiba, mereka justru membawa sampah
berupa sampah yang ada di tempat sampah. Gurunya langsung bingung ma kaget
campur aduk. Dia gak tau kalo anak-anak didiknya ternyata masih terpengaruh
sama bahasa harian mereka, bahkan kalo mereka make bahasa Indonesia. Gurunya
berpikir mereka nggak salah ambil jawaban, karena mereka sih tau kalo grass
emang berarti rumput. Tapi gurunya gak tau bahwa rumput yang dimaksud oleh
mereka lain banget sama yang dimaksud gurunya itu.
Ternyata, rumput
yang dimaksud oleh guru tersebut nggak sama ma rumput yang dipahami oleh
anak-anak didiknya. Mereka malah tau kalo rumput [yang dalam lidah
lokalnya disebut rumpu] itu adalah sampah. Kaget juga ya, rumput
kok bisa jadi sampah sih. Bikin gurunya bingung aja nih mereka.
Jadi sebaiknya sang guru
pelajari juga lidah lokalnya, biar nggak kaget dengan kejadian kayak gituan.
Parah emang, tapi lidah mereka (termasuk kami juga) emang gitu. Pola pikirnya
pun gitu, gak sama ma orang Pulau Jawa sana. -_-